Di zaman yang serba digital saat ini, kita diperhadapkan
dengan kepraktisan bisa menyelesaikan segala sesuatu dengan sekejab melalui peranti digital. Di samping dapat sangat cepat, kita juga dapat menyelesaikannya seorang diri tanpa bantuan siapa pun. Apalagi maraknya Artifial Intelligence dan Chat GPT yang bisa menjawab apapun
kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi hanya dengan melakukan klik di ujung jari!
Selain keuntungannya yang menjadikan segala hal menjadi cepat dan praktis, namun di sisi lain entah disadari atau tidak manusia menjadi semakin individualistis dan bahkan merasa tidak membutuhkan orang lain. Manusia yang pada hakekatnya adalah insan dengan pikiran dan perasaan; maka perasaan manusia ini yang menjadi pertaruhannya! Perasaan dan emosi menjadi kurang terperhatikan
untuk dikelola secara efektif. Ini yang membuat generasi saat ini butuh bimbingan tersendiri dalam mengelola emosinya. Terutama adalah generasi muda yang dapat berjam-jam setiap hari menghabiskan waktu hanya bersama dengan perangkat digitalnya, sehingga sangat minim waktu bersosialisasi dan mengelola emosi dengan sesama.
Lalu bagaimana mengelola emosi dengan efektif di tengah gemburan era digital saat ini? Untuk menjawabnya kita perlu kembangkan 4 faktor pendorong emosi kita yaitu komponen penentu bagi mampu atau tidaknya emosi kita berkembang. Sebuah mobil yang keren sekalipun dan mahal harganya namun jika mesin di dalamnya tidak berfungsi maka mobil tersebut tidak ada artinya. Layaknya mesin mobil, faktor pendorong ini penting bagi kematangan emosi seseorang. Yuk simak 4 faktor pendorong tersebut, yang menjadi kunci untuk dapat meningkatkan kecerdasan emosional:
1. KESADARAN (Emotional Awareness)
Kemampuan seseorang secara sadar untuk membuat pilihan atas hidupnya. Untuk meningkatkannya seseorang perlu melatih kemampuan memilih pikiran yang akan mempengaruhi perasaannya yang akan berdampak pada tindakannya. Yang terpenting ialah bagaimana seseorang bisa memutuskan untuk menjadi penyebab atas apa yang terjadi padanya sehingga ia punya kendali atas sikap dan perilakunya.
Salah satu contoh kesadaran diri yang sangat baik adalah ketika seorang anak yang memiliki ayah penjudi dan pemabuk, namun secara sadar ketika beranjak remaja memilih tidak mengikuti jejak kehidupan kelam ayahnya. Namun ia justru terpacu untuk menyelesaikan sekolah dengan nilai terbaik agar dapat meyenangkan hati ibunya yang selama ini telah pontang-panting membiayai sekolahnya. Ia memilih untuk tidak terpengaruh keadaan buruk yaitu perilaku ayahnya. Kesadaran dirinya berkembang dengan baik karena ia menyadari, “Saya telah dibesarkan oleh seorang ibu luar biasa yang telah memperjuangkan saya menjadi orang yang lebih baik”.
2. PENERIMAAN (Emotional Acceptance)
Penerimaan diri merupakan salah satu tema penting untuk membangun kepercayaan diri sekaligus kematangan emosi seseorang. Penerimaan diri adalah pengakuan, penerimaan, dan menghargai kemampuan dan pencapaian diri sendiri termasuk dengan segala keterbatasannya. Dan selanjutnya ini menjadi dasar untuk seseorang berinteraksi secara sehat dengan orang lain.
Tingkat penerimaan diri yang tinggi akan membuat emosi seseorang lebih matang karena suasana hati akan terbangun lebih baik dan mencegah dari efek stres dan depresi. Seseorang yang dapat menerima dirinya sendiri yang akan menjadi tidak terlalu kritis terhadap diri sendiri, sehingga ini membantunya menciptakan pandangan yang lebih positif, penuh kasih, dan seimbang tentang dirinya.
3. PERSAHABATAN (Emotional Affection)
Mencakup bagaimana berelasi dengan orang lain atau disebut juga dengan kecerdasan sosial. Ini mencakup kemampuan seseorang berinteraksi dengan berbagai orang dengan karakter dan kepribadian yang berbeda, termasuk kemampuan berkomunikasi secara terbuka dan mendapatkan kepercayaan dari orang lain.
Untuk mengembangkan area ini seseorang perlu belajar secara lebih toleran menerima kelebihan dan kekurangan orang lain; tidak mudah menjadi emosional dengan keburukan orang lain namun dapat melihatnya sebagai peluang untuk saling menerima dan melengkapi.
4. PENGUATAN (Emotional Affirmation)
Mencakup kemampuan untuk terus memotivasi diri dan juga memotivasi orang lain saat menghadapi tantangan, atau yang dapat juga disebut sebagai Adversity Quotient (AQ) atau kecerdasan menghadapi tantangan. Salah satu contoh keteladanan terbaik dalam Emotional Affirmation adalah Edmund Hillary yaitu orang pertama yang berhasil menaklukkan Puncak Everest di tahun 1953. Pencapaian ini adalah buah manis dari daya juang dan latihan selama bertahun-tahun sebelumnya. Sejak tahun 1939 Hillary melakukan pendakiannya yang pertama dan mencapai puncak Gunung Oliver. Gunung Oliver adalah satu dari 17 puncak Pegunungan Southern Alps di Selandia Baru. Dan puncak-puncak gunung lain segera dicapainya beberapa tahun berikutnya. Setelah menaklukkan Everesr, Hillary pun berkomentar. “Bukan gunung yang kami taklukkan, namun diri kami sendiri.”
Yuk rekan Next Leader, kembangkan otot-otot kecerdasaran emosi dengan melatih 4 faktor pendorong ini, seperti pernyataan Daniel Goleman bahwa kecerdasan emosional memiliki kekuatan hingga 80% sebagai penentu keberhasilan seseorang.